Kalau dosa-dosa
zahir seperti mencuri, zina, mabok-mabokan, bertengkar, gibah, menyombongkan
diri maupun memburu dunia, itu relatif mudah meninggalkannya bagi orang yang
sudah sadar dan ingin menuju Tuhan. Tapi tidak dengan dosa-dosa bathin yang
tersembunyi. Misalnya mengendalikan rasa ujub, kebencian dan harga diri dalam
hati.
Itu jebakan
hawa nafsu yang paling umum menyerang para penempuh jalan Tuhan di tangga awal.
Sebabnya sederhana. Karena diri kita sudah tidak lagi melakukan dosa-dosa yang
terlihat, maka secara psikologis diri kita akan merasa lebih baik dari orang lain
pada umumnya. Kita jadi sangat peka akan nilai nilai agama dan rasa ketuhanan. Efeknya
hati kita jadi rentan untuk sibuk membanding-bandingkan ilmu keagamaan, kemuliaan, ketekunan kita beribadah dan rasa
kecintaan kita pada Tuhan dibanding orang lain. Hati kita jadi lepas kendali sibuk
menghakimi apapun yang dilakukan banyak orang.
Akibat
lanjutnya, lama-lama jadi timbul kebencian kita terhadap orang-orang yang
lalai, tak peduli Tuhan apalagi ingkar dan sombong pada Tuhan. Saking kuatnya
rasa kebencian itu, akibatnya hati kita juga jadi tersiksa karena itu.
Disisi lain,
Karena jalan hidup yang kita tempuh terlihat aneh dan konyol bagi banyak orang,
maka berbagai sorotan sosial akan menimpa kita. Penilaian sinis, kritik pedas,
bisik-bisik negatif bahkan ucapan sembrono akan banyak kita tanggung dimanapun kita
berada dan pergi. Mula-mula ketika itu masih sedikit, kita masih bisa bertahan.
Tapi lama-lama benteng pertahanan kita akan roboh juga. Maka timbullah rasa
sedih dalam hati kita. Rasa sedih itu lama-lama akan naik dosis. Akan berubah
menjadi rasa kesal. Lalu refleks jadi timbul mekanisme pertahanan diri kita. Hati
kita jadi tergoda untuk membathin, bahwa diri kita lebih baik dari orang-orang
yang mengecam diri kita. Tujuan kita hanya satu, yaitu untuk mempertahankan
harga diri. Meskipun itu kita lakukan hanya dalam hati.
Jika kita
tak sadar dengan semua kondisi itu, maka
sesungguhnya kita sudah terlempar menjadi orang yang lebih hina dibanding
orang-orang yang tak peduli dengan Tuhan.
Seperti
kereta api keluar dari relnya, sesudahnya kita akan bersusah payah untuk
kembali ke posisi semula yang tak terusik oleh orang lain. Tapi jika kita
cepat sadar, maka pendakian mental kita untuk membersihkan diri tak kan begitu
terjal. Tapi tak ada jaminan kita akan selamat dari ujian penyakit hati seperti
itu.
Itulah dinding terjal fase awal di jalan Tuhan.
Merobohkan tembok hawa nafsu halus dalam diri.
Jika fase itu berhasil dilewati, maka akan terbuka
kesadaran baru dalam diri kita. Kehadiran Tuhan di hati akan lebih terasa
dibanding fase sebelumnya. Apapun yang kita lihat, mulai terasa semua itu
adalah penampakkan kehendak dan af’al (perbuatan) Tuhan. Lalu disisi lain
sedang apapun kita, mulai terasa Tuhan selalu melihat kita. Bau bau musyahadah
dan muroqobah sedikit demi sedikit mulai kita rasakan. Kesadaran ihsan, mulai
hadir di hati kita. Dan tentu rasanya juga akan lebih lezat secara spiritual. Bahkan
Tuhan juga menghadiahkan hikmah-hikmah baru untuk kita. Jadi hadir
sekonyong-konyong letupan-letupan inspirasi baru yang sebelumnya tak terpikirkan,
dimana semua itu sangat berguna untuk bekal naik menapaki fase berikutnya.
Tapi jika fase itu tak berhasil dilewati, maka kita akan tetap berputar-putar
dalam kemelut bathin seperti itu. Berbagai Ibadah dan amal zahir kita nyaris tak
kan bisa membantu. Bahkan semua itu justru bisa mempertebal dosa bathin kita tanpa
kita sadari. Ibadah dan amal zahir itu tidak salah. Yang bermasalah adalah
sikap bathin kita sendiri terhadap semua itu. Merasa telah mulia dan lebih baik
dari orang lain karena telah melakukan semua itu. Hati kita jadi kesasar dan nyangkut
pada rasa riya, ujub dan takjub tersembunyi. Itu yang
menyebabkan ahwal bathin kita tidak bisa naik ke level berikutnya. Karena dipenjara
oleh hawa nafsu halus kita sendiri. Akibatnya yang kita rasakan hanya rasa
lelah dan penderitaan saja.
Maka disitulah makna pentingnya melakukan perenungan. Melakukan khalwat. Melakukan
tafakur. Lewat itulah kita bisa mengaudit niat hati kita sendiri. Kondisi
bathin kita. Apakah sudah lurus atau masih bengkok. Apakah sudah ikhlas atau
belum. Apakah sudah benar-benar menghadap hanya untuk Tuhan atau masih bocor
dan bercabang kesana kemari. Atau malah menggunakan Tuhan dan ibadah sebagai kecap
untuk merasa diri lebih baik dan lebih mulia dari orang lain.
Itulah berbagai ujian tersembunyi yang tak bisa kita sepelekan. Dan saya sendiri
juga baru sekedar berteori disini.
“Apakah
manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, “Kami telah
beriman,” sedang mereka tidak diuji lagi? “ (Qs. Al ‘Ankabuut : 2).
Tapi sejauh jauh kita berjalan, berusaha dan merenung, akhirnya tetap kita harus menyerahkan diri pada Tuhan. Lalu sadar hanya kemurahan Tuhan jua yang bisa kita harapkan. Hanya dengan pertolongan Tuhanlah semua itu akan bisa terjadi. Bukan karena diri kita sendiri. Karena diri kita sesungguhnya tak punya daya dan kekuatan apapun, kecuali jika Tuhan memang menghendakinya.
Komentar
Posting Komentar