Langsung ke konten utama

Jebakan Halus Hawa Nafsu di Jalan Tuhan

Kalau dosa-dosa zahir seperti mencuri, zina, mabok-mabokan, bertengkar, gibah, menyombongkan diri maupun memburu dunia, itu relatif mudah meninggalkannya bagi orang yang sudah sadar dan ingin menuju Tuhan. Tapi tidak dengan dosa-dosa bathin yang tersembunyi. Misalnya mengendalikan rasa ujub, kebencian dan harga diri dalam hati.

Itu jebakan hawa nafsu yang paling umum menyerang para penempuh jalan Tuhan di tangga awal. Sebabnya sederhana. Karena diri kita sudah tidak lagi melakukan dosa-dosa yang terlihat, maka secara psikologis diri kita akan merasa lebih baik dari orang lain pada umumnya. Kita jadi sangat peka akan nilai nilai agama dan rasa ketuhanan. Efeknya hati kita jadi rentan untuk sibuk membanding-bandingkan ilmu keagamaan,  kemuliaan, ketekunan kita beribadah dan rasa kecintaan kita pada Tuhan dibanding orang lain. Hati kita jadi lepas kendali sibuk menghakimi apapun yang dilakukan banyak orang.

Akibat lanjutnya, lama-lama jadi timbul kebencian kita terhadap orang-orang yang lalai, tak peduli Tuhan apalagi ingkar dan sombong pada Tuhan. Saking kuatnya rasa kebencian itu, akibatnya hati kita juga jadi tersiksa karena itu.

Disisi lain,
Karena jalan hidup yang kita tempuh terlihat aneh dan konyol bagi banyak orang, maka berbagai sorotan sosial akan menimpa kita. Penilaian sinis, kritik pedas, bisik-bisik negatif bahkan ucapan sembrono akan banyak kita tanggung dimanapun kita berada dan pergi. Mula-mula ketika itu masih sedikit, kita masih bisa bertahan. Tapi lama-lama benteng pertahanan kita akan roboh juga. Maka timbullah rasa sedih dalam hati kita. Rasa sedih itu lama-lama akan naik dosis. Akan berubah menjadi rasa kesal. Lalu refleks jadi timbul mekanisme pertahanan diri kita. Hati kita jadi tergoda untuk membathin, bahwa diri kita lebih baik dari orang-orang yang mengecam diri kita. Tujuan kita hanya satu, yaitu untuk mempertahankan harga diri. Meskipun itu kita lakukan hanya dalam hati.

Jika kita tak sadar dengan  semua kondisi itu, maka sesungguhnya kita sudah terlempar menjadi orang yang lebih hina dibanding orang-orang yang tak peduli dengan Tuhan.

Seperti kereta api keluar dari relnya, sesudahnya kita akan bersusah payah untuk kembali ke posisi semula yang tak terusik oleh orang lain. Tapi jika kita cepat sadar, maka pendakian mental kita untuk membersihkan diri tak kan begitu terjal. Tapi tak ada jaminan kita akan selamat dari ujian penyakit hati seperti itu.

Itulah dinding terjal fase awal di jalan Tuhan. Merobohkan tembok hawa nafsu halus dalam diri.

Jika fase itu berhasil dilewati, maka akan terbuka kesadaran baru dalam diri kita. Kehadiran Tuhan di hati akan lebih terasa dibanding fase sebelumnya. Apapun yang kita lihat, mulai terasa semua itu adalah penampakkan kehendak dan af’al (perbuatan) Tuhan. Lalu disisi lain sedang apapun kita, mulai terasa Tuhan selalu melihat kita. Bau bau musyahadah dan muroqobah sedikit demi sedikit mulai kita rasakan. Kesadaran ihsan, mulai hadir di hati kita. Dan tentu rasanya juga akan lebih lezat secara spiritual. Bahkan Tuhan juga menghadiahkan hikmah-hikmah baru untuk kita. Jadi hadir sekonyong-konyong letupan-letupan inspirasi baru yang sebelumnya tak terpikirkan, dimana semua itu sangat berguna untuk bekal naik menapaki fase berikutnya.     

Tapi jika fase itu tak berhasil dilewati, maka kita akan tetap berputar-putar dalam kemelut bathin seperti itu. Berbagai Ibadah dan amal zahir kita nyaris tak kan bisa membantu. Bahkan semua itu justru bisa mempertebal dosa bathin kita tanpa kita sadari. Ibadah dan amal zahir itu tidak salah. Yang bermasalah adalah sikap bathin kita sendiri terhadap semua itu. Merasa telah mulia dan lebih baik dari orang lain karena telah melakukan semua itu. Hati kita jadi kesasar dan nyangkut pada rasa riya, ujub dan takjub tersembunyi. Itu yang menyebabkan ahwal bathin kita tidak bisa naik ke level berikutnya. Karena dipenjara oleh hawa nafsu halus kita sendiri. Akibatnya yang kita rasakan hanya rasa lelah dan penderitaan saja.

Maka disitulah makna pentingnya melakukan perenungan. Melakukan khalwat. Melakukan tafakur. Lewat itulah kita bisa mengaudit niat hati kita sendiri. Kondisi bathin kita. Apakah sudah lurus atau masih bengkok. Apakah sudah ikhlas atau belum. Apakah sudah benar-benar menghadap hanya untuk Tuhan atau masih bocor dan bercabang kesana kemari. Atau malah menggunakan Tuhan dan ibadah sebagai kecap untuk merasa diri lebih baik dan lebih mulia dari orang lain.

Itulah berbagai ujian tersembunyi yang tak bisa kita sepelekan. Dan saya sendiri juga baru sekedar berteori disini.  

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, “Kami telah beriman,” sedang mereka tidak diuji lagi? “ (Qs. Al ‘Ankabuut : 2).

Tapi sejauh jauh kita berjalan, berusaha dan merenung, akhirnya tetap kita harus menyerahkan diri pada Tuhan. Lalu sadar hanya kemurahan Tuhan jua yang bisa kita harapkan. Hanya dengan pertolongan Tuhanlah semua itu akan bisa terjadi. Bukan karena diri kita sendiri. Karena diri kita sesungguhnya tak punya daya dan kekuatan apapun, kecuali jika Tuhan memang menghendakinya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sebab dan Tujuan Saya Membuat Blog Wasilun Ini

Sejak saya masuk Islam, akhir Mei 2024, saya sering menuliskan renungan dan munajat spiritual saya di Sosmed seperti Facebook dan WhatsApp. Saya sebut masuk Islam, bukan berarti sebelumnya saya beragama lain. KTP saya sejak lahir Islam. Tapi seingat saya sejak tahun 2000-an, kesadaran saya sudah atheistik. Tak percaya lagi akan adanya Tuhan. Baru pada akhir Mei 2024 itu, secara tiba tiba diluar dugaan saya, saya benar benar meyakini bahwa Tuhan itu ada. Dan bahwa Nabi Muhammad itu benar benar utusan Allah. Itu disebabkan oleh pengalaman yang sangat tragis dalam hidup saya. Tentang ini saya tulis pada postingan lain. Intinya saya akui, bahwa saya baru benar benar syahadat dari hati saya, adalah saat itu. Maka sejak saat itu, setiap usai Sholat hingga menangis, saya sering menuliskan renungan dan munajat saya di Facebook dan WhatsApp. Tapi respon orang, tak seperti yang saya bayangkan. Umumnya datar alias tak menggubrisnya. Bahkan saya juga jadi bahan cibiran dan bullyan dari tem...

Syariat dan Hakikat: Mana yang Benar?

  Solusi Perkelahian Abadi Agama Syariat dan Agama Hakikat Ini adalah perkelahian abadi. Dari dulu sampai sekarang tak pernah usai. Bahkan sampai nanti. Karena keduanya adalah 2 sisi yang berbeda. Persis seperti minyak dengan air. Perkelahian Agama Syariat dengan Agama Hakikat. Syariat itu dimensi zahir sedang hakikat itu dimensi bathin. Syariat itu dimensi tubuh sedang hakikat itu dimensi jiwa. Syariat itu dimensi materi sedang hakikat itu dimensi roh. Syariat itu dimensi fisika sedang hakikat itu dimensi metafisika. Syariat itu dimensi teknis sedang hakikat itu dimensi prinsipil. Syariat itu dimensi partikular (juziyat) sedang hakikat itu dimensi universal (kulliyat). Syariat itu dimensi yang terukur, terbatas dalam ruang dan waktu. Sedang hakikat itu dimensi abstrak yang tak terdefinisikan melampaui ruang dan waktu atau tanpa batas. Syariat itu dimensi relatif sedang hakikat itu dimensi Absolut. Agama di level syariat, adalah syarat dan rukunnya. Seabrek tata cara ya...

Arti Dibalik Isteri Selalu Ketus, Kasar, Marah-marah dan Tak Peduli Perasaan Suami

Bila isteri wataknya sudah berubah menjadi temperamen, sering marah-marah pada kita dan siapapun, mau ada sebab yang jelas atau tidak, ekspresi mukanya tak lagi sejuk pada kita, mulutnya sering ketus, kasar tanpa pernah lembut atau sentuhan perasaan lagi, maka sadarilah, itu tandanya masa expire   hatinya untuk kita sudah tiba.   Mau dia kita nasehati, kita sindir, kita ngambeg, kita diam, apalagi kita marahi, pengaruhnya tak kan ada. Jangankan dia akan menangis, yang terjadi malah dia akan berbalik menerkam kita. Termasuk jika dia kita ancam dengan perceraian pun, air mata cemas dan sedihnya juga tak kan keluar. Paling tinggi yang keluar hanya air mata buayanya. Singkatnya apapun usaha yang kita lakukan, akan percuma. Nasib kita sama dengan meninju tembok. Semakin kita bernafsu untuk memukulnya, maka kita yang akan semakin terluka dan bernanah. Atau seperti Punguk merindukan Bulan. Mau menghiba-hiba hingga menangis darah pun, dia tetap tak kan peduli apalagi berubah. ...