Langsung ke konten utama

Kita Sudah Hidup di Neraka Hari ini

Bahasa Arab dari neraka adalah an-nar. Arti sempitnya adalah api. Dan arti luasnya adalah hawa panas. Sedang sorga bahasa Arabnya adalah jannah. Arti sempitnya taman indah. Arti luasnya adalah lapang, sejuk, damai dan tentram.

Kedua arti itu sudah ada dari dulu. Dan terus ada sampai nanti. Ketika dada kita terasa sesak, sumpek, kalut, krasak-krusuk, buas, bengis, panas, bergejolak dan sejenisnya, maka hakikatnya itu artinya kita sedang dipanggang oleh Tuhan. Kita sedang dilemparkan Tuhan kedalam neraka di dunia ini.  Sebaliknya ketika hati kita terasa lapang, terasa tentram, merasa selesai, terasa puas, syukur, rela, ikhlas, maka hakikatnya itu kita sedang hidup dalam sorga di dunia ini.

Artinya kedua hal itu adalah kondisi bathin kita. Bukan kondisi zahir kita. Sakit senang dan susah mudah yang terjadi pada tubuh, sesungguhnya hanya alat pengantar untuk pencapaian bathin kita. Meskipun tubuh kita susah, tapi kalau hati kita lapang, maka yang akan kita rasakan tetap sebuah kelapangan. Tapi meskipun tubuh kita senang bahkan manja, tapi ketika hati kita merasa hambar apalagi gelisah, maka rasa akhir yang kita alami tetap sebuah kegelapan dan kegelisahan.

Maka di akhirat nanti, ibaratnya juga itu yang akan kita rasakan, yaitu apa yang hati kita rasakan saat hidup di dunia ini. Artinya kondisi bathin yang kita rasakan di dunia ini, adalah contoh barang untuk kenyataan bathin kita di akhirat nanti. Tester kecil untuk kehidupan kita di akhirat. Karena itulah dunia ini sebenarnya intinya tempat menanam. Buah finalnya nanti di akhirat. Tapi sekedar aura, cita rasa, vibrasi atau hawanya, sudah bisa tercium oleh hati kita hari ini.

Jadi jika selama di dunia ini hidup kita dalam kegelapan, maka di akhirat nanti kita akan tetap dalam kegelapan. Dan kegelapan itu rasanya sakit yang menyiksa. Begitu juga sebaliknya. Jika selama hidup di dunia ini kita hidup dalam cahaya kebenaran, maka di akhirat nanti kita juga akan hidup dalam terang kebenaran. Dan terang itu rasanya lezat yang mendamaikan.

Siapa yang buta (hatinya) di dunia ini, di akhirat pun dia pasti buta dan lebih tersesat jalannya.” (QS Al-Isra : 72)

Itu artinya kunci hakikinya sebenarnya bukan pada tubuh, benda-benda dan apapun yang bersifat zahir material. Tapi adalah pada hati atau qalbu kita. Dialah raja penentu dalam diri setiap manusia. Apakah dirinya akan selamat atau celaka.

"Ingatlah, dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. Jika segumpal daging itu baik, maka baiklah seluruh tubuhnya. Tetapi, jika rusak, maka rusak pula seluruh tubuhnya. Segumpal daging itu bernama qolbu." (HR. Bukhari dan Muslim).

Tapi kenapa hal-hal zahir yang lebih menyedot perhatian, impian dan susah payah kita selama ini? Bahkan mungkin hanya itu? Seperti yang terjadi pada saya?

Jawabannya karena barangnya jelas. Tampak nyata oleh mata kepala. Sedang dunia bathin, kedalaman hati, tak bisa dilihat oleh mata zahir. Yang bisa melihatnya, hanya mata hati.

Maka disitulah perjuangan di sepanjang hidup kita. Bagaimana menghidupkan kembali mata hati kita. Siapa yang berhasil, maka dialah sesungguhnya yang menang dan akan memperoleh keuntungan yang sebenarnya.

Dan itu juga yang jadi MoU kita dengan Tuhan ketika kita masih dalam kandungan. Perjanjian awal menjelang Tuhan meniupkan rohNya sendiri kedalam jasad kita.

“(Ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari tulang punggung anak cucu Adam, keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksiannya terhadap diri mereka sendiri (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (Kami melakukannya) agar pada hari Kiamat kamu (tidak) mengatakan, “Sesungguhnya kami lengah terhadap hal ini,” (QS Al-A'raf : 172).

Kita bisa mengakui, atau bersaksi (bersyahadat) terhadap Tuhan saat itu, karena kesadaran kita dalam kondisi bathiniah. Hati ktia lagi tersingkap pada alam bathin. Tapi begitu kita terlahir, alias setelah kita dilaunching Tuhan ke alam zahir (tubuh) di dunia ini, maka mata bathin kita jadi padam. Langsung menjadi buta dan tuli. Didinding oleh dimensi zahir kita.

Maka sejak saat itu berkeliaranlah kita di dunia ini kesana kemari. Lalu Tuhan ingin melihat atau menguji, siapa yang akhirnya bisa berhasil untuk kembali ke kondisinya semula. Yaitu kembali ke kesadaran fitrah. Yaitu kembali hatinya sadar. Kembali bisa bershayadat: “O .. ternyata benar. Engkaulah Tuhan penciptaku”.

Siapa yang sampai pada kesadaran fitrah seperti itu, berarti dia terbukti masih setia seperti dulu. Dialah yang tetap sadar atau beriman pada Tuhan sebagai Penciptanya. Bukti kesetiaan itu bukan ucapan lidah. Tapi kaffah secara zahir dan bathin. Setiap elemen tubuh dan ruang bathinnya, hanya dipersembahkannya untuk Tuhan.  

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka mengabdi kepada-Ku” (QS Az-Zariyat ayat 56)

Hanya mengabdi atau beribadah pada Tuhan artinya bukan berarti hanya mengurung diri di sajadah tanpa peduli apapun. Itu namanya melarikan diri dari tanggung jawab. Kita tak bisa menghindar dari dunia, karena saat ini kita masih di dunia. Tapi bukan dunia itu yang jadi obsesi dan impian kita. Bukan itu yang jadi cita-cita hati kita. Tapi adalah Tuhan. Tubuh, tangan dan kaki tetap bergelimang dengan dunia, tapi yang dituju dan yang dielu-elukan hati didalam, hanya Tuhan.

Diri kita ibarat dua sisi mata uang. Zahir dan bathinnya tetap jalan serentak. Zahir mengurus dunia tapi bathin selalu menghadap pada Tuhan. Baik saat berdiri, duduk dan berbaring. Artinya sepanjang waktu hati kita terus connecting dengan Tuhan. Itulah yang dimaksud dengan selalu berpegang teguh pada tali Allah. Hati kita selalu terhubung dengan Tuhan. Dengan cara itulah kita akan bisa selamat. Jika tidak, maka sudah bisa dipastikan kita akan celaka. Kita tak kan pernah henti ditarik tarik buas oleh hawa nafsu kita kesana kemari. Kita akan lupa dengan Tuhan. Jika kita mati dalam keadaan lupa dengan Tuhan, maka itulah yang dimaksud dengan su’ul khotimah. Akhir hayat yang buruk.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sebab dan Tujuan Saya Membuat Blog Wasilun Ini

Sejak saya masuk Islam, akhir Mei 2024, saya sering menuliskan renungan dan munajat spiritual saya di Sosmed seperti Facebook dan WhatsApp. Saya sebut masuk Islam, bukan berarti sebelumnya saya beragama lain. KTP saya sejak lahir Islam. Tapi seingat saya sejak tahun 2000-an, kesadaran saya sudah atheistik. Tak percaya lagi akan adanya Tuhan. Baru pada akhir Mei 2024 itu, secara tiba tiba diluar dugaan saya, saya benar benar meyakini bahwa Tuhan itu ada. Dan bahwa Nabi Muhammad itu benar benar utusan Allah. Itu disebabkan oleh pengalaman yang sangat tragis dalam hidup saya. Tentang ini saya tulis pada postingan lain. Intinya saya akui, bahwa saya baru benar benar syahadat dari hati saya, adalah saat itu. Maka sejak saat itu, setiap usai Sholat hingga menangis, saya sering menuliskan renungan dan munajat saya di Facebook dan WhatsApp. Tapi respon orang, tak seperti yang saya bayangkan. Umumnya datar alias tak menggubrisnya. Bahkan saya juga jadi bahan cibiran dan bullyan dari tem...

Syariat dan Hakikat: Mana yang Benar?

  Solusi Perkelahian Abadi Agama Syariat dan Agama Hakikat Ini adalah perkelahian abadi. Dari dulu sampai sekarang tak pernah usai. Bahkan sampai nanti. Karena keduanya adalah 2 sisi yang berbeda. Persis seperti minyak dengan air. Perkelahian Agama Syariat dengan Agama Hakikat. Syariat itu dimensi zahir sedang hakikat itu dimensi bathin. Syariat itu dimensi tubuh sedang hakikat itu dimensi jiwa. Syariat itu dimensi materi sedang hakikat itu dimensi roh. Syariat itu dimensi fisika sedang hakikat itu dimensi metafisika. Syariat itu dimensi teknis sedang hakikat itu dimensi prinsipil. Syariat itu dimensi partikular (juziyat) sedang hakikat itu dimensi universal (kulliyat). Syariat itu dimensi yang terukur, terbatas dalam ruang dan waktu. Sedang hakikat itu dimensi abstrak yang tak terdefinisikan melampaui ruang dan waktu atau tanpa batas. Syariat itu dimensi relatif sedang hakikat itu dimensi Absolut. Agama di level syariat, adalah syarat dan rukunnya. Seabrek tata cara ya...

Arti Dibalik Isteri Selalu Ketus, Kasar, Marah-marah dan Tak Peduli Perasaan Suami

Bila isteri wataknya sudah berubah menjadi temperamen, sering marah-marah pada kita dan siapapun, mau ada sebab yang jelas atau tidak, ekspresi mukanya tak lagi sejuk pada kita, mulutnya sering ketus, kasar tanpa pernah lembut atau sentuhan perasaan lagi, maka sadarilah, itu tandanya masa expire   hatinya untuk kita sudah tiba.   Mau dia kita nasehati, kita sindir, kita ngambeg, kita diam, apalagi kita marahi, pengaruhnya tak kan ada. Jangankan dia akan menangis, yang terjadi malah dia akan berbalik menerkam kita. Termasuk jika dia kita ancam dengan perceraian pun, air mata cemas dan sedihnya juga tak kan keluar. Paling tinggi yang keluar hanya air mata buayanya. Singkatnya apapun usaha yang kita lakukan, akan percuma. Nasib kita sama dengan meninju tembok. Semakin kita bernafsu untuk memukulnya, maka kita yang akan semakin terluka dan bernanah. Atau seperti Punguk merindukan Bulan. Mau menghiba-hiba hingga menangis darah pun, dia tetap tak kan peduli apalagi berubah. ...