Memberi
sesuatu dan menolong orang lain, adalah perbuatan yang mulia dimata manusia.
Tapi belum tentu mulia dimata Tuhan alias tak kan ada nilainya jika itu
dilakukan tidak dengan ikhlas. Ikhlas maksudnya, tanpa berharap apapun dari
siapapun. Dan itu tidak bisa diketahui oleh siapapun kecuali oleh diri kita sendiri
dan Tuhan. Karena ikhlas tidak ikhlas itu adalah sikap bathin. Tersembunyi
didalam hati. Tapi meski demikian gejala-gejalanya biasanya tetap akan memancar
keluar dalam bentuk prilaku zahir kita. Contoh
prilaku yang menggambarkan tidak ikhlas misalnya:
Pertama kita sering menyebut-nyebut pemberian dan pertolongan itu pada orang
lain. Baik pada sembarang orang apalagi langsung pada orang yang kita beri atau
kita tolong tersebut. Baik jika itu kita nyatakan secara vulgar maupun dengan
cara halus dan berkelok-kelok. Itu adalah kata lain dari bahwa diri kita berharap
pengakuan dari orang lain, betapa dermawan, betapa baik dan betapa mulianya
diri kita. Itu bukti bahwa diri kita diam-diam dikuasai oleh hawa nafsu kita sendiri.
Rakus dengan pengakuan dan pujian dari sesama mahkluk.
Kedua kita
jadi suka bercerita membanding-bandingkan diri kita dengan orang lain. Kita
asyik menyebut-nyebut bahwa diri kita lebih toleran, lebih peduli, lebih murah
hati dan sejenisnya dibanding orang lain. Baik jika itu kita nyatakan secara
vulgar, maupun dengan cara memolesnya dengan pengakuan, bahwa kita tidak tega setiap
melihat orang lain kesusahan. Intinya tujuan halus kita dibalik semua itu tetap sama dengan ciri yang pertama, yaitu betapa baik, betapa dermawan dan
betapa mulianya diri kita. Lalu berharap agar orang lain mengakui tentang itu.
Ketiga
sikap dan prilaku kita jadi berubah setelah memberi dan menolong orang, baik
terhadap orang lain secara umum, apalagi terhadap orang yang kita beri pertologan
tersebut. Perubahan itu misalnya kita berlagak ngeboss, atau seperti dewa
penyalamat atau seorang pahlawan yang harus dihormati, dipatuhi dan
disanjung-sanjung oleh orang lain.
Termasuk
kita juga jadi lancang pada orang lain gara-gara itu. Misalnya jadi suka memonopoli
pembicaraan seakan diri kita adalah ukuran segalanya yang harus diakui. Lalu kita
juga jadi suka mendoktrin, memerintah dan semena-mena pada orang lain.
Singkatnya kita berlagak seperti itu dengan niat agar orang melunasi kembaliannya
untuk diri kita karena sebelumnya kita sudah duluan memberikan uang muka yang
sangat berharga untuk orang lain. Jadi sesudahnya kita sengaja menuntut bayaran
kembalinya dalam bentuk yang berbeda.
Jika pengakuan, pujian, sikap tunduk dan patuh orang lain itu tidak kita dapatkan,
maka sikap kita akan berubah dengan sendirinya. Misalnya kita jadi dingin, sentimen,
bermusuhan, bengis, marah dan dendam pada orang tersebut.
Ciri keempat adalah ciri yang senyap. Ini tidak ada yang tahu kecuali hanya diri kita sendiri dengan Tuhan. Sejak kita memberi dan menolong orang lain, kita sering ingat bahkan sengaja mengingatnya bahwa kita pernah melakukan itu. Lalu diam-diam semua harapan seperti ketiga prilaku sebelumnya jadi terbesit di hati kita. Bedanya semua itu tidak pernah kita nyatakan secara lisan pada siapapun. Tapi dalam hati semua itu tetap berlalu lalang dalam pikiran kita.
Faktanya,
Begitu sulit kita bisa selamat dari sikap pamrih seperti itu setelah memberi
dan menolong orang lain. Mungkin dari sikap pamrih yang kentara secara zahir
kita bisa menahan diri. Tapi belum tentu secara diam-diam dalam hati. Hawa nafsu dan
bisikan Setan akan selalu membujuk kita agar terlena dan masuk perangkap rasa
bangga dan butuh pengakuan akan hal itu tanpa kita sadari.
Hanya dengan mendekatkan diri pada Tuhanlah kita bisa sadar dan terhindar dari sikap seperti itu. Karena jika iman kita pada Tuhan sudah pekat, kita akan sadar bahwa sikap pamrih itu seperti kayu bakar yang menghanguskan sikap pemurah, kelembutan dan ketulusan hati kita. Kita akan merasa malu dihadapan Tuhan. Lalu jadi sering memohon pertolonganNya agar sikap seperti itu dijauhkan Tuhan dari hati kita, sambil tetap waspada dan terus melatih diri untuk itu.
Komentar
Posting Komentar