Saat saya tulis postingan ini,
Sudah lebih kurang 3 bulan saya uzlah dari siapapun dengan ketat. Uzlah maksud saya, sengaja
mengasingkan diri. Baik secara fisik apalagi bathin. Baik dari teman, tetangga,
keluarga maupun anak isteri saya sendiri.
Saya memang masih hidup bersama dengan anak isteri saya
dalam sebuah rumah. Tapi saya diam terpisah dari mereka di sebuah kamar di
lantai dua. Sedang anak dan isteri saya bermukim dibawah. Saya nyaris tidak
pernah lagi sengaja berkumpul bersama mereka seperti layaknya sebuah rumah
tangga yang hangat. Kecuali hanya berpapasan secara tak sengaja ketika saya
melintas kebawah seperti hendak mau makan, mau mengambil sesuatu, mau pergi
keluar rumah, mau memberi uang pada isteri, mau antar jemput anak sekolah dan
sejenisnya.
Saat berpapasan itu saya juga hanya diam saja. Sengaja saya membisu, sambil di telinga saya selalu disumbat oleh headset blutooth mendengarkan ceramah agama maupun murotal Al-Quran. Kecuali jika ada yang benar benar penting untuk dikatakan, atau untuk saya jawab, baru saya bersuara. Jika menurut saya yang ditanya apalagi sekedar coloteh tidak penting, maka saya diam saja.
Apalagi
secara sosial,
Nyaris tak ada lagi orang yang menarik bagi saya untuk diajak bertemu dan
bercakap-cakap. Saya sengaja tak pernah bertemu lagi dengan semua teman saya
yang sebelumnya sering saya kunjungi. Bahkan di Sosmed pun, saya juga
menghilang dari mereka. Kecuali hanya 3 orang saja yang saya tertarik untuk
berkumpul dan bercakap-cakap. Satu orang teman di kota tempat saya tinggal, dan
2 orang lagi adalah adik perempuan saya beserta suaminya di kota kelahiran
saya. Karena mereka bertiga yang saya temukan yang sungguh sungguh ingin hidup
di jalan Tuhan. Jadi dengan merekalah saya merasa ada teman seperjuangan menempuh
jalan yang sama.
Sebab saya uzlah seperti itu, saya akui karena saya belum mampu. Belum mampu
untuk bergumul seperti sebelumnya dengan siapapun tanpa merasa terusik.
Termasuk dengan anak isteri saya sendiri. Karena yang jadi topik pembicaraan
mereka, melulu hanya hal hal yang tak berguna. Haha hihi yang tak perlu. Bicara
kegirangan untuk bermegah-megah diri. Sibuk berbangga-bangga diri tentang
apapun. Atau menggosip apapun. Singkatnya hanya hal hal yang bersifat duniawi. Tak
ada yang membuat hati jadih teduh apalagi bisa menambah keimanan.
Saya
sudah berkali kali menasehati, agar mereka satu persatu, sesekali merenunglah.
Bahwa hidup kita di dunia ini hanya kehidupan sementara yang menipu. Kehidupan
yang sebenarnya adalah nanti. Yaitu setelah kita mati. Dan mati itu sangat
dekat dengan kita. Selalu mengintai kita kapan saja tanpa dapat kita tolak.
Karena itu bersungguh-sungguhlah dalam beragama. Hayatilah agama itu dengan
hati. Jangan hanya sekedar rajin sholat secara zahir saja tapi hati dan pikiran
tidak menghadap pada Tuhan. Buktinya usai sholat, sikap, prilaku dan apa yang
diburu dan dielu-elukan, tak berubah sedikitpun dari sebelum sholat. Tetap
hanya sibuk memberu dan bergelimang dunia hingga lupa diri.
Tapi semua itu hanya dianggap angin lalu bahkan jadi bahan
cemoohan saja bagi mereka. Itu tergambar dari bahasa tubuh mereka dan prilaku
mereka sesudahnya. Sama sekali tak berubah.
Saya sadar,
Apa yang saya katakan pada mereka adalah sesuatu yang aneh dan konyol bagi
umumnya orang dimana-mana hari ini, seperti bagi saya dulunya juga menilai hal
itu aneh dan konyol, ketika saya masih kafir. Tapi itulah dilema yang saya
rasakan. Saya kini lagi tak sanggup bergumul dengan siapapun yang dirinya tidak
menghadap pada Tuhan. Yang dirinya sibuk bercerita tentang dunia dengan penuh
nafsu. Saya merasa tersiksa dengan suasana seperti itu. Yang saya bisa betah
dengan teduh, ketika sebuah pertemuan dengan siapapun, adalah dalam rangka
tafakur tentang iman, tentang Tuhan dan sejenisnya.
Karena itulah kini saya sengaja menghindar dari siapapun.
Saya merasa lebih nyaman sendiri. Karena saat sendiri saya bisa lebih khusyuk
beribadah, lebih merasuk membathin tentang Tuhan, dan jadi terhindar dari bujuk
rayu dunia dan dari kemungkinan saya terjebak lagi pada hawa nafsu saya
sendiri. Misalnya jadi terpancing membangga-banggakan diri dalam bicara, jadi
berlagak hebat saat berpendapat, jadi mudah tersinggung dan emosi, dan jadi sibuk
bergosip.
Tapi benarkah dengan semua itu saya betul betul merasa
nikmat secara bathin?
Tidak juga. Suasana hati saya masih turun naik. Kadang teduh seteduh-teduhnya,
kadang berlinang air mata tanpa dapat dibendung karena tersentuh secara iman
pada Tuhan. Tapi kadang juga merasa benar benar menderita karena hidup saya benar
benar dalam pengasingan. Tak ada teman kecuali hanya Tuhan di hati.
Para Arif billah menyebut kondisi seperti ini sebagai fase
salik. Fase seorang penempuh yang belum sampai pada tujuan (Allah). Sebuah pendakian
spiritual yang berdarah-darah. Bahkan ada yang menyebutnya fase jadzab. Fase
mabok atau kondisi gila dengan Tuhan. Akibatnya secara zahir jadi tidak waras. Menjadi
tak berselera dan sekaligus tak bisa berdamai dengan hiruk pikuk dunia.
Tapi mereka yang sudah sampai pada Tuhan, yang sudah benar
benar terhubung dengan Tuhan, alias sudah sampai pada level makrifat, baru
kondisi bathinnya menjadi tenang. Baru mereka mendapat nur atau warid dari
Tuhan, bahwa tak ada yang batil dalam hidup ini. Semuanya adalah haq. Tak ada
lagi pertentangan antar apapun. Karena
toh semua yang terjadi, adalah tajali Tuhan dimuka bumi. Adalah faal Tuhan
juga. Kemanapun mata memandang, refleks yang terlihat oleh mata hatinya adalah
wajah Tuhan. Tuhanlah dibalik segala sesuatu. Karena itu tak ada lagi yang
perlu dikeluhkan, dicela dan dihindari. Dirinya sudah bagai ikan dalam laut. Meski
air tempatnya berenang itu asin, tapi tubuhnya tak sedikit pun menjadi asin.
Itulah yang disebut dengan fase wasil atau wuhsul. Mereka yang sudah bertemu dengan Tuhannya. Mereka itu disebut para Wasilun. Diri mereka sudah dikeluarkan Tuhan dari perangkap dualisme benar salah dan baik buruk secara hakiki. Walaupun secara syariat duniawi tetap sadar dengan sejernih-jerninya mana yang benar dan mana yang salah. Mana yang tak elok dan mana yang tidak. Tapi ahwal atau kondisi bathin mereka, sudah dianugrahi Tuhan dengan rasa tentram yang sempurna menghadapi semua itu. Tidak merasa terusik lagi oleh hiruk pikuk dunia. Meski diri mereka bergumul dengan siapapun, mereka tidak menderita lagi. Tapi sekaligus juga tidak terpengaruh lagi.
Intinya apapun disekitarnya, tak memberi bekas lagi pada diri
mereka. Justru diri merekalah yang memberi pengaruh pada lingkungannya. Mereka
sudah menjadi nur bagi banyak orang. Makanya fase itu disebut juga dengan fase
rahmatan lil alamin. Fase yang kehadirannya sudah menjadi berkah bagi alam dan
kehidupan. Yang sudah mencapai fase seperti itu adalah para Nabi dan Aulia
Allah. Dan yang paling sempurna darinya, adalah Nabi Muhammad. Makanya Beliau
disebut sebagai Insan Kamil. Potret manusia sempurna. Wajah bathinnya sudah
benar benar cantik mempesona.
Tapi itulah yang belum terjadi pada diri saya. Masih jaauhhh
.... belum ada apa-apanya. Saya baru sampai pada level teori tentang semua itu.
Misalnya saya sadar, bahwa siapapun yang tak condong hatinya pada Tuhan,
sesungguhnya secara hakikatnya itu adalah cermin dari kehendak Tuhan juga
dibalik layar. Takdir Tuhan yang mewujud pada dimensi syariat (zahir) nya.
Karena itu membenci dan mengutuk mereka yang seperti itu, sama juga artinya
dengan menolak kehendak atau takdir Tuhan. Alias tidak ridho dengan perbuatan
Tuhan.
Tapi secara prakteknya, saat menyaksikan orang-orang seperti itu secara
langsung, hati ini masih menolaknya. Saya mendadak lupa bahwa dibalik semua
prilaku mereka itu adalah sifat dan perbuatan Tuhan juga. Mata hati saya tidak
bekerja. Yang bekerja hanya mata zahir saya. Akibatnya yang terlihat oleh saya
hanya sekedar perbuatan manusianya. Lupa dengan irodah Tuhan dibalik semua itu.
Maka itulah yang membuat saya jadi tersiksa.
Dengan
kata lain, saya masih lemah. Maqom dan ahwal saya masih level pemula. Masih
rapuh. Sedikit saja dapat gesekan, semua bangunan iman saya jadi berantakan.
Saya jadi menderita 2 kali. Pertama tersiksa secara zahir duniawi, dan kedua terpuruk
secara spiritual. Karena itulah tak ada pilihan untuk saya saat ini selain
uzlah sebisa mungkin dari berbagai situasi yang mengancam riyadhah (latihan
penempaan) spiritual saya.
Komentar
Posting Komentar