Langsung ke konten utama

Akibat Terlalu Mikir dan Filosofis tentang Tuhan

Berdasarkan pengalaman saya,
Ketika kita terlalu banyak mikir tentang Tuhan, apalagi dipaksakan, hasilnya Tuhan menjadi objek logika penalaran. Wajah Tuhan menjadi filosofis. Tuhan hanya menjadi sebuah gagasan abstrak yang kering. Kita jadi sulit membayangkan Tuhan secara spontan sebagai labuhan hati. Persis seperti kita membayangkan benda mati.

Sama dengan ketika kita membayangkan tubuh Ibu kita adalah tumpukan sel atau dibentuk oleh bagian terkecil dari anasir mahkluk hidup. Maka sosok ibu kita sebagai sebuah pribadi, akan langsung punah. Tak kan berpengaruh apapun lagi pada diri kita secara emosional. Karena begitu nama Ibu kita disebut, yang kita ingat, hanya jejaring sel yang jalin berkelindan di setiap inchi tubuhnya.

Lain cerita jika sosok ibu yang kita bayangkan secara natural seperti selama ini, yaitu sosok utuh seorang manusia. Dia menjadi benar benar hidup di hati kita. Beliau terasa sebagai labuhan keluh kesah hati kita. Tempat kita kembali, tempat kita mengadu, tempat kita tidur dipangkuannya, tempat kita menangis dalam belaian cinta kasihnya. Sosoknya menjadi hidup di hati kita. Kehadirannya jadi terasa menyentuh. Rasa percaya, rasa rindu, rasa hiba dan rasa cinta padanya sekonyong-konyong langsung hadir di hati kita.

Begitu juga ketika Tuhan dipikirkan, dianalisis atau diutak atik dengan logika. Tuhan itu menjadi benda mati atau barang abstrak yang kering di hati kita. Dia terasa menjadi tak bisa apa-apa lagi terhadap diri kita. Misalnya kita bayangkan Tuhan sebagai sebuah energi. Maka secara emosional hati kita jadi tak bisa bergantung pada energi tersebut. Apalagi berharap ini itu. Karena energi itu tak bisa berbuat apa-apa untuk diri kita seperti sebuah sosok hidup yang serba bisa untuk diri kita.

Apalagi membayangkan Tuhan sebagai sebuah ketiadaan murni, seperti yang terjadi pada Filsafat Ketuhanan, Teologi dan aliran Tasawuf tertentu. Walaupun tujuan mereka sebenarnya ingin meradikalkan betapa Tuhan itu tidak bisa dipikirkan, dibayangkan dan disepadankan dengan apapun. Maka ketiadaan itulah yang paling tepat untuk Diri Tuhan. Ketiadaan yang mereka maksud bukan dalam arti eksistensi Tuhan itu tidak ada. Tap sebuah mode keberadaan yang tak terbatas, tak terdefinisikan dan tak bisa dijangkau.

Nah kita bisa rasakan sendiri, apa efeknya pada diri kita jika membayangkan Tuhan yang seperti itu.

Bagi saya itulah hikmah pentingnya kenapa Tuhan melarang manusia untuk memikirkan tentang Dzat Tuhan dalam Al Quran. Karena manusia tidak akan mampu. Dan sekaligus efeknya justru akan mencelakakan manusia itu sendiri.  Struktur kesadarannya bisa berantakan. Visi mentalnya secara rohani bisa buyar tak tentu arah. Menjadi pecah tanpa titik kepastian yang bisa dipegang. Jeritan bathinnya yang merindukan tempat melepaskan berbagai keluh kesah, kegamangan dan labuhan hidupnya berakhir abadi, jadi terasa hilang.

Itu juga sebabnya banyak ayat dalam Al Quran dan Hadist Nabi, yang dijabarkan tentang Tuhan, hanya kumpulan nama dan sifatNya. Misalnya Tuhan itu Maha Kuasa, Maha Penyayang, Maha Penolong dan seterusnya. Maka dengan membayangkan sifat-sfiat Tuhan yang demkian, segala keluh kesah manusia dalam hidupnya, menjadi terjawab di hatinya. Ternyata hidupnya di dunia ini ada yang memperhatikan dan menjaganya. Termasuk nasibnya setelah kematian. Ternyata ada Tuhan yang akan mengadili segala perbuatannya selama hidupnya di dunia.

Maka cukuplah itu yang menjadi pegangan manusia dalam hidupnya. Tak perlu memikirkan apalagi memaksakan diri seperti apa sebenarnya Dzat atau keberadaan dari Tuhan yang punya semua nama dan sifat tersebut. Biarlah Tuhan itu sendiri yang membersitkan di hati para hambaNya, seperti apa layaknya Tuhan itu dibayangkan. Tuhanlah yang akan menghilhamkannya kedalam hati setiap manusia sesuai kapasitasnya masing-masing. Inspirasi langsung dari Tuhan tentang DiriNya itulah yang akan menyelamatkan manusia. Karena pemberian dari Tuhan sudah pasti disesuaikan Tuhan untuk setiap orang. Takarannya sudah pasti tepat atau proporsional. Tidak lebih dan tidak kurang sesuai daya tampung kesadaran dan nalar setiap hambaNya.

Dengan kata lain,
Tuhan tak perlu digeneralisir seperti teori, paham, dan renungan filosofis tertentu. Karena apapun yang sanggup dibayangkan dan dipikirkan manusia tentang Tuhan, bukanlah Tuhan itu sendiri. Melainkan hanya produk dari angan-angan dan pikiran manusia itu sendiri. Bukan Tuhan yang sebenarnya. Tuhan yang sebenarnya hanya bisa diketahui oleh DiriNya sendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sebab dan Tujuan Saya Membuat Blog Wasilun Ini

Sejak saya masuk Islam, akhir Mei 2024, saya sering menuliskan renungan dan munajat spiritual saya di Sosmed seperti Facebook dan WhatsApp. Saya sebut masuk Islam, bukan berarti sebelumnya saya beragama lain. KTP saya sejak lahir Islam. Tapi seingat saya sejak tahun 2000-an, kesadaran saya sudah atheistik. Tak percaya lagi akan adanya Tuhan. Baru pada akhir Mei 2024 itu, secara tiba tiba diluar dugaan saya, saya benar benar meyakini bahwa Tuhan itu ada. Dan bahwa Nabi Muhammad itu benar benar utusan Allah. Itu disebabkan oleh pengalaman yang sangat tragis dalam hidup saya. Tentang ini saya tulis pada postingan lain. Intinya saya akui, bahwa saya baru benar benar syahadat dari hati saya, adalah saat itu. Maka sejak saat itu, setiap usai Sholat hingga menangis, saya sering menuliskan renungan dan munajat saya di Facebook dan WhatsApp. Tapi respon orang, tak seperti yang saya bayangkan. Umumnya datar alias tak menggubrisnya. Bahkan saya juga jadi bahan cibiran dan bullyan dari tem...

Syariat dan Hakikat: Mana yang Benar?

  Solusi Perkelahian Abadi Agama Syariat dan Agama Hakikat Ini adalah perkelahian abadi. Dari dulu sampai sekarang tak pernah usai. Bahkan sampai nanti. Karena keduanya adalah 2 sisi yang berbeda. Persis seperti minyak dengan air. Perkelahian Agama Syariat dengan Agama Hakikat. Syariat itu dimensi zahir sedang hakikat itu dimensi bathin. Syariat itu dimensi tubuh sedang hakikat itu dimensi jiwa. Syariat itu dimensi materi sedang hakikat itu dimensi roh. Syariat itu dimensi fisika sedang hakikat itu dimensi metafisika. Syariat itu dimensi teknis sedang hakikat itu dimensi prinsipil. Syariat itu dimensi partikular (juziyat) sedang hakikat itu dimensi universal (kulliyat). Syariat itu dimensi yang terukur, terbatas dalam ruang dan waktu. Sedang hakikat itu dimensi abstrak yang tak terdefinisikan melampaui ruang dan waktu atau tanpa batas. Syariat itu dimensi relatif sedang hakikat itu dimensi Absolut. Agama di level syariat, adalah syarat dan rukunnya. Seabrek tata cara ya...

Bahaya Ingin Cepat Makrifat: Masuk Perangkap Setan!

Makrifat maksudnya tentu saja makrifatullah. Mengenal Allah. Mengenal maksudnya bukan hanya tahu secara teori (ilmul yaqin). Tapi memang sudah merasakan kehadiran (hudur) Tuhan dalam hati. Sudah menjadi pengalaman yang menyelimuti diri (haqqul yakin). Yang pertama itu disebut sebagai teori tentang makrifat. Sedang yang kedua adalah pengalaman makrifat. Kalau hanya sekedar makrifat secara teori, itu baru sekedar informasi biasa. Ibaratnya persis seperti kita berpikir, bercerita dan membayangkan tentang sentrum arus listrik. Tapi kita sendiri belum pernah kena sentrumnya. Tapi jika makrifat itu sudah menjadi pengalaman, ibaratnya sama dengan orang yang sudah kena sentrum langsung oleh arus listrik. Sekujur tubuhnya akan geger. Mukanya pucat, jantungnya berguncang hebat dan kesadarannya akan remuk dalam seketika. Dia mendadak jadi blank. Hilang kesadaran. Menjadi fana dalam sekejap. Setelah siuman dan sadar, dia akan jadi melongo. Terdiam sambil geleng-geleng: “Benar benar mengerika...