Banyak cara
untuk mengukur sejauhmana tingkat kecintaan kita pada Tuhan. Dan mengukurnya lewat uang hanya
salah salah satu cara diantara sekian banyak cara lain.
Cinta pada
Tuhan maksudnya, sederhananya adalah hajat kita pada Tuhan. Minat kita pada
Tuhan. Ketergila-gilaan kita pada Tuhan. Sejauhmana hati kita memang
mengimpikan dan mengelu-elukan Tuhan. Jadi dosisnya sudah lebih dari hanya
sekedar ingat pada Tuhan.
Itu berarti,
Didalamnya
sudah terkandung rasa rindu pada Tuhan. Rindu untuk selalu terhubung hati
dengan Tuhan. Dan bila rasa rindu itu terus bergelora atau terus naik, puncaknya
jadi terbetik ingin bertemu dengan Tuhan. Pertemuan itu bukan dalam arti zahir
seperti kita bertemu seseorang dalam kehidupan sehari-hari. Tapi dalam arti,
hati kita begitu ingin sampai pada level menyaksikan Tuhan di alam bathin
(musyahadah). Ringkasnya hati kita sudah ditawan oleh Tuhan. Persis seperti
orang yang mabok kasmaran. Hatinya sudah disandara oleh rasa rindu yang tak
terbendung pada kekasih.
Nah cara
mengukurnya sejauhmana itu telah ada dalam diri kita bila dihubungkan dengan
uang adalah, sejauhmana daya tarik uang itu sudah menurun di hati kita.
Rumusnya berbanding lurus. Semakin kental rasa cinta kita pada Tuhan, maka juga
akan semakin menurun kecintaan kita pada uang. Begitu juga sebaliknya. Semakin
kurang kecintaan kita pada Tuhan, maka kecintaan kita pada uang akan jadi semakin
tinggi.
Cara
melacaknya mudah.
Dalam keseharian, mana yang lebih sering terbayang oleh kita. Mana yang selalu teringat
oleh kita. Dan mana yang selalu ingin kita buru dan elu-elukan. Singkatnya mana
yang lebih sering menguasai pikiran, hati dan tindakan kita sepanjang waktu. Tuhan
atau uang?
Kemudian
kemana akal atau daya kreatif dalam diri kita lebih banyak kita gunakan. Loncatan-loncatan
inspirasi apa yang lebih sering muncul dalam pikiran kita. Yang berhubungan dengan Tuhan atau yang
berhubungan dengan uang? Lalu ke arah mana ide, usaha, managemen diri, trik, strategi,
atau apapun istilahnya yang lebih sering kita susun atau kita atur. Apakah untuk
agar lebih bisa mendekatkan diri pada Tuhan atau untuk memburu dan mendapatkan
uang yang lebih banyak? Intinya apa yang lebih membuat hati kita lebih terobsesi
dan selalu ditarik-tariknya. Singkatnya apa yang jadi cita-cita hidup kita:
Tuhan atau uang?
Jawabannnya
tentu kita sendiri yang tahu dengan bisik-bisik dan gerak hati kita sendiri. Dan
itu tidak bisa kita dustai.
Kemudian,
Ketika kita mendapatkan uang, baik karena usaha kita sendiri maupun karena
diberi oleh seseorang, bagaimana reaksi spontan di bathin kita. Rasa senang di
hati kita kemana arahnya. Apakah jadi senang karena uang itu sendiri? Atau jadi
senang karena bangga atas prestasi kita yang telah berhasil dalam memburu uang?
Atau lagi hati kita jadi berbunga-bunga karena ada orang yang berbaik hati memberi
kita uang? Kemudian sekaligus kita merasa takjub dengan diri kita sendiri
karena uang itu?
Sedang
bayangan tentang Tuhan, sama sekali tak melintas di hati kita saat itu. Artinya
apakah yang terasa saat itu hanya luapan kegirangan dalam hati seperti orang
dapat lotre atau uang kaget? Sedang Tuhan kosong dalam lintasan hati kita?
Atau justru hati kita jadi terharu gara-gara uang itu?
Merasa terharu karena benar benar terasa di hati kita bahwa Tuhan memang
memperhatikan kita. Benar benar terasa bahwa Tuhan sedang merahmati kita lewat
rezeki berupa uang. Kita merasa tersanjung malu di hadapanNya. Perasaan kita
jadi campur aduk. Senang iya, remuk redam iya, bergemuruh secara spiritual iya.
Lengkap sudah. Mata kita jadi berkaca-kaca bahkan mungkin jadi bercucuran air
mata tanpa dapat dibendung. Karena terasa Tuhan sedang mengulurkan kasihNya
pada kita lewat uang.
Lalu jika uang itu berkurang, atau pergi dari kita, perasaan kita pun juga tidak berubah karenanya. Intinya tidak ada keinginan untuk menumpuk apalagi mengunci uang itu agar tetap diam di dompet kita.
Nah versi mana
yang terjadi pada diri kita?
Lagi lagi kita yang tahu dengan hati kita sendiri.
Sebaliknya,
Begitu juga ketika kita lagi kekurangan atau tak punya uang sama sekali.
Bagaimana reaksi spontan hati kita. Apakah kita langsung gusar, panik dan mabok
seperti cacing kepanasan? Apakah kita merasa hidup kita benar benar dalam
bencana? Seakan dunia telah kiamat bagi kita? Karena kita merasa tempat
berpijak kita sudah ambruk yaitu uang? Lalu bathin kita meronta-ronta kesakitan
dan ketakutan tak terperikan. Sambil merasa dunia ini tidak adil, tak peduli, kejam,
buas dan mengerikan. Tanpa terbayang Tuhan sedikit pun di hati kita. Dan
kalaupun terbayang Tuhan, maka hati kita jadi curiga dan bengis pada Tuhan.
Kenapa Tuhan bersikap tidak adil, kenapa Tuhan tega membuat kita jadi melarat
seperti itu dan seterusnya.
Atau sebaliknya
kepahitan uang itu justru membuat hati kita jadi semakin dekat pada Tuhan? Jadi
terbukti nyata bagi kita bahwa sesungguhnya kita memang tak berdaya dalam hidup
ini. Lalu jadi timbul rasa butuh pertolongan dari Tuhan. Jadi tersadar hati
kita, bahwa memang ada Dzat yang Mengatur hidup ini dalam segala seginya, yaitu
Tuhan. Jadi tunduk hati kita bahwa pada hakikatnya kita sebenarnya tak berkutik
dalam hidup ini. Kalaupun kita pernah mampu dan bersinar, itu hanya perasaan
atau klaim kita saja bahwa kita mampu. Tapi saat ditampar kemiskinan seperti
itu, baru kita sadar, bahwa hakikatnya tak ada yang bisa kita andalkan dan
banggakan dalam hidup ini selain hanya Tuhan itu sendiri. Karena ternyata Dialah
kunci segalanya. Kalau Tuhan ingin memudahkan rezeki finansial untuk kita, maka
jadi mudahlah proses untuk mendapatkannya lewat berbagai cara. Tapi jika sebaliknya,
jika Tuhan memang ingin menguji kita lewat itu, maka apapun yang kita lakukan,
semua jalan akan jadi tertutup untuk kita.
Intinya
pengalaman pahit seperti itu, justru membuat hati kita semakin terenyuh dan
teduh menyerahkan diri pada Tuhan. “Aku sadar Ini cobaan dariMu ya Tuhanku. Dan
aku rela menerimanya. Tak ada pilihan bagiku selain menyerah pada kehendakMu.
Tapi izinkan aku memohon, berilah aku kekuatan untuk menerimanya.”
Nah respon
seperti apa yang terjadi pada diri kita saat mengalami peristiwa seperti itu?
Lagi lagi kita sendiri yang tahu isi hati kita.
Intinya jika
yang bekerja dan berpengauh kental dalam diri kita adalah uang, maka itu bukti
bahwa kita memang belum berminat pada Tuhan. Hati kita belum condong ke Tuhan.
Apalagi cinta padaNya.
Ini bukan
berarti bahwa kita harus menghindar apalagi membenci uang. Lalu sengaja
melarikan diri dari hidup atau tanggung jawab. Bukan artinya kita jadi acuh tak
acuh atau tak peduli dengan pekerjaan, profesi dan bisnis kita selama ini. Ini adalah
soal hati. Soal sikap bathin kita terhadap uang. Bukan soal tubuh atau zahir
kita.
Zahir kita bisa saja tetap sibuk lalu dikarunia banyak
uang dan kejayaan finansial yang mentereng. Tapi bathin kita tidak melekat pada
uangnya. Atau sebaliknya hidup zahir kita bisa saja ditampar tak henti-henti
oleh kekurangan uang meski kita juga tak pernah henti berusaha. Tapi bathin
kita tetap melekat dan menjeritnya bukan karena kekurangan uangnya. Tapi karena
disadari dan terasa bahwa itu adalah tempaan dari Tuhan agar hati kita semakin
dekat dan lekat pada Tuhan.
Kesimpulannya,
Uang itu sudah dihayati sebagai tumbal Tuhan untuk kita. Cara kreatif Tuhan
dalam menggiring kita agar bisa merasakan kehadiranNya dalam hidup kita. Jadi mau
kelimpahan mau kekurangan uang, atau mau kaya mau miskin, akhirnya akan sama
saja di hati kita. Karena yang menawan hati kita bukan lagi uangnya. Tapi
adalah kehadiran Tuhan yang tersembunyi dibalik semua itu.
Tapi untuk bisa sampai ke level itu, sangat tidak mudah. Saya sendiri juga masih
jauh.
Akhirnya diujung setiap usaha dan pendakian kita, tetap pada Tuhan juga kita harus berharap, agar kita mendapat kemurahanNya untuk itu, agar kita dianugerahi ahwal bathin yang seperti itu. Tidak melonjak kegirangan karena kelimpahan uang dan sekaligus juga tidak merasa malang dan frustasi karena kekurangan uang. Karena sudah dibuka mata hati kita oleh Tuhan ternyata bukan uang itu kunci segalanya. Tapi adalah Tuhan itu sendiri.
Komentar
Posting Komentar