Langsung ke konten utama

Cara Mengukur Kecintaan Kita pada Tuhan Lewat Uang

Banyak cara untuk mengukur sejauhmana tingkat kecintaan kita  pada Tuhan. Dan mengukurnya lewat uang hanya salah salah satu cara diantara sekian banyak cara lain.

Cinta pada Tuhan maksudnya, sederhananya adalah hajat kita pada Tuhan. Minat kita pada Tuhan. Ketergila-gilaan kita pada Tuhan. Sejauhmana hati kita memang mengimpikan dan mengelu-elukan Tuhan. Jadi dosisnya sudah lebih dari hanya sekedar ingat pada Tuhan.

Itu berarti,
Didalamnya sudah terkandung rasa rindu pada Tuhan. Rindu untuk selalu terhubung hati dengan Tuhan. Dan bila rasa rindu itu terus bergelora atau terus naik, puncaknya jadi terbetik ingin bertemu dengan Tuhan. Pertemuan itu bukan dalam arti zahir seperti kita bertemu seseorang dalam kehidupan sehari-hari. Tapi dalam arti, hati kita begitu ingin sampai pada level menyaksikan Tuhan di alam bathin (musyahadah). Ringkasnya hati kita sudah ditawan oleh Tuhan. Persis seperti orang yang mabok kasmaran. Hatinya sudah disandara oleh rasa rindu yang tak terbendung pada kekasih.

Nah cara mengukurnya sejauhmana itu telah ada dalam diri kita bila dihubungkan dengan uang adalah, sejauhmana daya tarik uang itu sudah menurun di hati kita. Rumusnya berbanding lurus. Semakin kental rasa cinta kita pada Tuhan, maka juga akan semakin menurun kecintaan kita pada uang. Begitu juga sebaliknya. Semakin kurang kecintaan kita pada Tuhan, maka kecintaan kita pada uang akan jadi semakin tinggi.

Cara melacaknya mudah.
Dalam keseharian, mana yang lebih sering terbayang oleh kita. Mana yang selalu teringat oleh kita. Dan mana yang selalu ingin kita buru dan elu-elukan. Singkatnya mana yang lebih sering menguasai pikiran, hati dan tindakan kita sepanjang waktu. Tuhan atau uang?

Kemudian kemana akal atau daya kreatif dalam diri kita lebih banyak kita gunakan. Loncatan-loncatan inspirasi apa yang lebih sering muncul dalam pikiran kita.  Yang berhubungan dengan Tuhan atau yang berhubungan dengan uang? Lalu ke arah mana ide, usaha, managemen diri, trik, strategi, atau apapun istilahnya yang lebih sering kita susun atau kita atur. Apakah untuk agar lebih bisa mendekatkan diri pada Tuhan atau untuk memburu dan mendapatkan uang yang lebih banyak? Intinya apa yang lebih membuat hati kita lebih terobsesi dan selalu ditarik-tariknya. Singkatnya apa yang jadi cita-cita hidup kita: Tuhan atau uang?

Jawabannnya tentu kita sendiri yang tahu dengan bisik-bisik dan gerak hati kita sendiri. Dan itu tidak bisa kita dustai.

Kemudian,
Ketika kita mendapatkan uang, baik karena usaha kita sendiri maupun karena diberi oleh seseorang, bagaimana reaksi spontan di bathin kita. Rasa senang di hati kita kemana arahnya. Apakah jadi senang karena uang itu sendiri? Atau jadi senang karena bangga atas prestasi kita yang telah berhasil dalam memburu uang? Atau lagi hati kita jadi berbunga-bunga karena ada orang yang berbaik hati memberi kita uang? Kemudian sekaligus kita merasa takjub dengan diri kita sendiri karena uang itu?

Sedang bayangan tentang Tuhan, sama sekali tak melintas di hati kita saat itu. Artinya apakah yang terasa saat itu hanya luapan kegirangan dalam hati seperti orang dapat lotre atau uang kaget? Sedang Tuhan kosong dalam lintasan hati kita?

Atau justru hati kita jadi terharu gara-gara uang itu?
Merasa terharu karena benar benar terasa di hati kita bahwa Tuhan memang memperhatikan kita. Benar benar terasa bahwa Tuhan sedang merahmati kita lewat rezeki berupa uang. Kita merasa tersanjung malu di hadapanNya. Perasaan kita jadi campur aduk. Senang iya, remuk redam iya, bergemuruh secara spiritual iya. Lengkap sudah. Mata kita jadi berkaca-kaca bahkan mungkin jadi bercucuran air mata tanpa dapat dibendung. Karena terasa Tuhan sedang mengulurkan kasihNya pada kita lewat uang.

Lalu jika uang itu berkurang, atau pergi dari kita, perasaan kita pun juga tidak berubah karenanya. Intinya tidak ada keinginan untuk menumpuk apalagi mengunci uang itu agar tetap diam di dompet kita.

Nah versi mana yang terjadi pada diri kita?
Lagi lagi kita yang tahu dengan hati kita sendiri.

Sebaliknya,
Begitu juga ketika kita lagi kekurangan atau tak punya uang sama sekali. Bagaimana reaksi spontan hati kita. Apakah kita langsung gusar, panik dan mabok seperti cacing kepanasan? Apakah kita merasa hidup kita benar benar dalam bencana? Seakan dunia telah kiamat bagi kita? Karena kita merasa tempat berpijak kita sudah ambruk yaitu uang? Lalu bathin kita meronta-ronta kesakitan dan ketakutan tak terperikan. Sambil merasa dunia ini tidak adil, tak peduli, kejam, buas dan mengerikan. Tanpa terbayang Tuhan sedikit pun di hati kita. Dan kalaupun terbayang Tuhan, maka hati kita jadi curiga dan bengis pada Tuhan. Kenapa Tuhan bersikap tidak adil, kenapa Tuhan tega membuat kita jadi melarat seperti itu dan seterusnya.

Atau sebaliknya kepahitan uang itu justru membuat hati kita jadi semakin dekat pada Tuhan? Jadi terbukti nyata bagi kita bahwa sesungguhnya kita memang tak berdaya dalam hidup ini. Lalu jadi timbul rasa butuh pertolongan dari Tuhan. Jadi tersadar hati kita, bahwa memang ada Dzat yang Mengatur hidup ini dalam segala seginya, yaitu Tuhan. Jadi tunduk hati kita bahwa pada hakikatnya kita sebenarnya tak berkutik dalam hidup ini. Kalaupun kita pernah mampu dan bersinar, itu hanya perasaan atau klaim kita saja bahwa kita mampu. Tapi saat ditampar kemiskinan seperti itu, baru kita sadar, bahwa hakikatnya tak ada yang bisa kita andalkan dan banggakan dalam hidup ini selain hanya Tuhan itu sendiri. Karena ternyata Dialah kunci segalanya. Kalau Tuhan ingin memudahkan rezeki finansial untuk kita, maka jadi mudahlah proses untuk mendapatkannya lewat berbagai cara. Tapi jika sebaliknya, jika Tuhan memang ingin menguji kita lewat itu, maka apapun yang kita lakukan, semua jalan akan jadi tertutup untuk kita.

Intinya pengalaman pahit seperti itu, justru membuat hati kita semakin terenyuh dan teduh menyerahkan diri pada Tuhan. “Aku sadar Ini cobaan dariMu ya Tuhanku. Dan aku rela menerimanya. Tak ada pilihan bagiku selain menyerah pada kehendakMu. Tapi izinkan aku memohon, berilah aku kekuatan untuk menerimanya.”  

Nah respon seperti apa yang terjadi pada diri kita saat mengalami peristiwa seperti itu? Lagi lagi kita sendiri yang tahu isi hati kita.

Intinya jika yang bekerja dan berpengauh kental dalam diri kita adalah uang, maka itu bukti bahwa kita memang belum berminat pada Tuhan. Hati kita belum condong ke Tuhan. Apalagi cinta padaNya.

Ini bukan berarti bahwa kita harus menghindar apalagi membenci uang. Lalu sengaja melarikan diri dari hidup atau tanggung jawab. Bukan artinya kita jadi acuh tak acuh atau tak peduli dengan pekerjaan, profesi dan bisnis kita selama ini. Ini adalah soal hati. Soal sikap bathin kita terhadap uang. Bukan soal tubuh atau zahir kita.

Zahir kita bisa saja tetap sibuk lalu dikarunia banyak uang dan kejayaan finansial yang mentereng. Tapi bathin kita tidak melekat pada uangnya. Atau sebaliknya hidup zahir kita bisa saja ditampar tak henti-henti oleh kekurangan uang meski kita juga tak pernah henti berusaha. Tapi bathin kita tetap melekat dan menjeritnya bukan karena kekurangan uangnya. Tapi karena disadari dan terasa bahwa itu adalah tempaan dari Tuhan agar hati kita semakin dekat dan lekat pada Tuhan.

Kesimpulannya,
Uang itu sudah dihayati sebagai tumbal Tuhan untuk kita. Cara kreatif Tuhan dalam menggiring kita agar bisa merasakan kehadiranNya dalam hidup kita. Jadi mau kelimpahan mau kekurangan uang, atau mau kaya mau miskin, akhirnya akan sama saja di hati kita. Karena yang menawan hati kita bukan lagi uangnya. Tapi adalah kehadiran Tuhan yang tersembunyi dibalik semua itu.


Tapi untuk bisa sampai ke level itu, sangat tidak mudah. Saya sendiri juga masih jauh.

Akhirnya diujung setiap usaha dan pendakian kita, tetap pada Tuhan juga kita harus berharap, agar kita mendapat kemurahanNya untuk itu, agar kita dianugerahi ahwal bathin yang seperti itu. Tidak melonjak kegirangan karena kelimpahan uang dan sekaligus juga tidak merasa malang dan frustasi karena kekurangan uang. Karena sudah dibuka mata hati kita oleh Tuhan ternyata bukan uang itu kunci segalanya. Tapi adalah Tuhan itu sendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sebab dan Tujuan Saya Membuat Blog Wasilun Ini

Sejak saya masuk Islam, akhir Mei 2024, saya sering menuliskan renungan dan munajat spiritual saya di Sosmed seperti Facebook dan WhatsApp. Saya sebut masuk Islam, bukan berarti sebelumnya saya beragama lain. KTP saya sejak lahir Islam. Tapi seingat saya sejak tahun 2000-an, kesadaran saya sudah atheistik. Tak percaya lagi akan adanya Tuhan. Baru pada akhir Mei 2024 itu, secara tiba tiba diluar dugaan saya, saya benar benar meyakini bahwa Tuhan itu ada. Dan bahwa Nabi Muhammad itu benar benar utusan Allah. Itu disebabkan oleh pengalaman yang sangat tragis dalam hidup saya. Tentang ini saya tulis pada postingan lain. Intinya saya akui, bahwa saya baru benar benar syahadat dari hati saya, adalah saat itu. Maka sejak saat itu, setiap usai Sholat hingga menangis, saya sering menuliskan renungan dan munajat saya di Facebook dan WhatsApp. Tapi respon orang, tak seperti yang saya bayangkan. Umumnya datar alias tak menggubrisnya. Bahkan saya juga jadi bahan cibiran dan bullyan dari tem...

Syariat dan Hakikat: Mana yang Benar?

  Solusi Perkelahian Abadi Agama Syariat dan Agama Hakikat Ini adalah perkelahian abadi. Dari dulu sampai sekarang tak pernah usai. Bahkan sampai nanti. Karena keduanya adalah 2 sisi yang berbeda. Persis seperti minyak dengan air. Perkelahian Agama Syariat dengan Agama Hakikat. Syariat itu dimensi zahir sedang hakikat itu dimensi bathin. Syariat itu dimensi tubuh sedang hakikat itu dimensi jiwa. Syariat itu dimensi materi sedang hakikat itu dimensi roh. Syariat itu dimensi fisika sedang hakikat itu dimensi metafisika. Syariat itu dimensi teknis sedang hakikat itu dimensi prinsipil. Syariat itu dimensi partikular (juziyat) sedang hakikat itu dimensi universal (kulliyat). Syariat itu dimensi yang terukur, terbatas dalam ruang dan waktu. Sedang hakikat itu dimensi abstrak yang tak terdefinisikan melampaui ruang dan waktu atau tanpa batas. Syariat itu dimensi relatif sedang hakikat itu dimensi Absolut. Agama di level syariat, adalah syarat dan rukunnya. Seabrek tata cara ya...

Arti Dibalik Isteri Selalu Ketus, Kasar, Marah-marah dan Tak Peduli Perasaan Suami

Bila isteri wataknya sudah berubah menjadi temperamen, sering marah-marah pada kita dan siapapun, mau ada sebab yang jelas atau tidak, ekspresi mukanya tak lagi sejuk pada kita, mulutnya sering ketus, kasar tanpa pernah lembut atau sentuhan perasaan lagi, maka sadarilah, itu tandanya masa expire   hatinya untuk kita sudah tiba.   Mau dia kita nasehati, kita sindir, kita ngambeg, kita diam, apalagi kita marahi, pengaruhnya tak kan ada. Jangankan dia akan menangis, yang terjadi malah dia akan berbalik menerkam kita. Termasuk jika dia kita ancam dengan perceraian pun, air mata cemas dan sedihnya juga tak kan keluar. Paling tinggi yang keluar hanya air mata buayanya. Singkatnya apapun usaha yang kita lakukan, akan percuma. Nasib kita sama dengan meninju tembok. Semakin kita bernafsu untuk memukulnya, maka kita yang akan semakin terluka dan bernanah. Atau seperti Punguk merindukan Bulan. Mau menghiba-hiba hingga menangis darah pun, dia tetap tak kan peduli apalagi berubah. ...