Ketika seseorang meinggal, itu hakikinya bukan sebuah kemalangan. Justru
itu tanda bahwa penderitaannya sebagai orang hidup sudah berakhir. Tanggung
jawab dan bebannya sebagai orang hidup dengan segala lika-likunya sudah berhenti.
Karena hidup sesungguhnya adalah arena untuk mengemban peran. Tapi begitu dia meninggal,
maka peran itu berakhir sudah.
Selanjutnya arwah atau jiwanya akan kembali menghadap pada Penciptanya, untuk menerima hasilnya. Apakah rapornya selama hidupnya di dunia bagus atau justru buruk. Kemudian menerima hadiah atau hukuman atas semua itu dari Tuhannya.
Kematian dianggap sebagai kemalangan, justru karena hidup dihayati tanpa adanya Pencipta. Atau tak disadari akan adanya Pencipta. Hidup dipahami tanpa adanya hari akhir atau hari pembalasan dari Tuhan. Akibatnya kematian dianggap sebagai sebuah kerugian bagi orang tersebut. Rugi karena dia tak bisa lagi menikmati hidup.
Padahal tanpa disadari, hidup itu hakikinya justru sebuah belenggu. Belenggu jiwa yang dikurung oleh jasad. Karena sejatinya jiwa atau roh yang ada dalam diri seseorang, berasal dari Tuhannya. Perpisahannya dengan Tuhannya, membuat roh itu menjadi terasing dari asalnya. Dibungkam oleh nafsu-nafsu yang melekat pada dirinya selama ia hidup. Maka begitu dia mati, sesungguhnya itu adalah pertemuan kembali bagi roh tersebut untuk bertemu dengan Tuhannya. Justru itu momen kegembiraan yang dintunggu-tunggu bagi roh. Yang kecewa, justru hawa nafsu.
Dengan kata lain,
Kematian dinilai sebagai kerugian atau sebuah kemalangan, ketika peristiwa itu
dinilai oleh hawa nafsu. Bukan oleh hati yang telah beriman pada Penciptanya.
Dengan kata lain,
Kematian dinilai sebagai kerugian atau sebuah kemalangan, ketika peristiwa itu
dinilai oleh hawa nafsu. Bukan oleh hati yang telah beriman pada Penciptanya.
Bagi hati yang telah beriman, apalagi yang sudah sampai pada level cinta illahiah,
justru kematian itu gerbang pertemuan yang ditunggu-tunggu untuk bertemu
dengan Sang Kekasih (Tuhan).
“Dunia adalah penjara bagi orang beriman dan surga bagi orang kafir” (HR. Muslim no. 2392).
Komentar
Posting Komentar